IBU, AKU, DAN ZARATHUSTRA
Matahari mulai mengantuk, dari Toa Surau seberang jalan, Lantunan murotal Ayat Suci menggema di langit jingga, namun pemuda itu masih asik saja menyuburkan kata demi kata di atas kertas, dengan sebatang rokok kretek dan secangkir kopi tanpa gula, seorang pemimpi yang ingin menyajikan kalimat-kalimat ajaib, sehingga menjadikannya “Übermensch” dalam skena literasi kepenulisan. “HAIL SASTRA!” teriaknya. “Eh.., Ngapain?, Mandi, Sholat, bentar lagi adzan” bagai nada lembut yang membelai, Kryptonite yang meredam teriakannya, wanita paruh baya yang rambutnya mulai memutih, tanpa pemuda itu sadari, ia dari tadi sudah berdiri dibelakangnya, mengamati, mengenakan daster kesayangannya, namun dalam kacamata pemuda itu, wanita itu masih sama cantik seperti dulu. “Bentar bu, kalimat terakhir” sambil menoleh sejenak ke arah wanita itu. “Buat apa?” “Sajak untuk ibu, Nah coba baca” wanita itu pun duduk di sebelah pemuda itu, mengambil selembar kertas yang di serahkan kepadanya, dan mulai membaca. tu