Content Writer Untuk Bapak
~While I'm addressing your head as my favourite bookstore
Warna jingga dan ungu
yang beradu, di atas kanvas langit senja bagai lukisan abstrak, sang maestro langit
dan bumi, Angkasa seorang pemuda pengangguran
berusia 27 tahun, sedang bermalas-malasan di depan rumah nya, dengan segelas kopi
sisa omong kosong nya tadi malam.
Dari dalam muncul
sesorang pria tua renta yang berjalan lunglai, menahan sakit dari rematik,
sebuah rasa sakit pada tulang dan sendi seperti ribuan jarum yang tertancap pada
kedua kakinya, dengan susah payah dia meraba kursi itu mencari celah mengatur
posisi agar bisa duduk dengan nyaman, di samping pemuda itu
“Sudah ashar-ran nak”
“belum sebentar, ngabisin
kopi”
“jangan terlalu di pikir
Sa, ngadu ke tuhan, minta jalan insya allah nanti ada jalannya”
“nah, buat temen ngopi”
ucap pria tua itu sambil menyerahkan satu bungkus rorok kretek
Dan dia menghilang.
~kumenunggu maghrib
Di penghujung kata
Mencaci liciknya dunia
Meromantisasi lelahnya
hari
Aku tenggelam di
perpustakaan pikirmu
Dan aku pulang.
Asa nama panggilanku sejak
kecil, sudah 9 tahun aku menganggur, dengan ijasah SMA yang nilai nya jelek
sekali akibat kemalasanku di zaman sekolah dulu, bolos adalah makananku sehari
hari, bermalas-malasan dan ikut-ikutan teman biar trendi dan keren kala itu.
Tong kosong nyaring bunyinya. Dan sebuah
dialog tadi adalah sisa bayangan ayahku yang telah meninggalkanku dan dunia,
selepas kelulusan sekolahku akibat kolaborasi penyakit yang di deritanya,
ibuku? Dia sudah lebih dulu meninggalkan kami berdua
Aku adalah anak tunggal
dari keluarga yang terbilang berkecukupan, di rawat dengan kasih sayang yang
hangat kedua orang tuaku, semua berjalan sangat organik tanpa beban.Namun,
Hari ini hari kelulusan,
langit cerah membiru dengan gradasi warna abu-abu, lagi-lagi lukisan sang
maestro langt dan bumi, pengumuman kelulusan di bacakan oleh kepala sekolah
seperti biasa, pengumuman peringkat juara sekolah dengan nilai yang paling
mengesankan! Aku? Seperti anak nakal pada umum nya, berada di base camp tempat
biasa kami bolos pelajaran, merokok, di atas plafon sebuah kelas tua
terbengkalai yang sudah usang tak terpakai. Terlihat janggal memang, jika
sekolah negri di negara yang memiliki anggaran pendikikan yang fantastis, masih
memiliki bangunan reot serta fasilitas yang kurang memadai, tapi peduli setan!
Toh aku pun jarang masuk sekolah.
“Abis ini kemana?” tanya
salah satu temanku sambil merogoh isi tas nya mengambil sebatang rokok yg sudah
tidak simetris, yang di beli dari warung eceran depan sekolah
“belum tau” jawabku
“blog tulisan-tulisan kau
gimana sudah ada hasil?”
“blog sampah itu berharap
apa?”
“ya mungkin belum tapi
nanti mungkin kau bisa jadi penulis terkenal, macam om tere?”
Kalimat yang keluar dari
temanku yg sedang menghisap rokok, Kalimat itu, entah mau menyemangati atau
meledek aku tak peduli.
Langit cerah berubah
seketika men-aminkan duka di pelupuk mata, tepat sepulang sekolah setelah acara
kelulusan, bendera kuning tersandar di pagar rumahku. Perasaanku kalut, sedih,
marah, putus asa, bercampur aduk, bergejolak dalam batin namun enggan
meneteskan rasa sedih di pipi.
Kain jarik menutupi
sekujur badan ayahku yang sudah terbaring tak bernyawa di lantai ber alaskan
tikar, di kelilingi lantunan yasin dari kerabat dan tetangga dekat
“ yang sabar ya nak asa”
tetangga maupun kerabat dekat keluarga mendekatiku mencoba menguatkanku
Tahum-tahun berlalu
setelah kejadian itu, aku masih berjibaku mencari pekerjaan. Berkas lamaran
menumpuk, namun tak satupun membuahkan hasil. Rasa putus asa menggerogoti
“warisan yang
ditinggalkan bapak adalah agama dan rematik yang siap menikamku saat aku
lengah”
Di dalam blog pribadiku,
kata demi kata ku tuangkan, rasa pahit dan getir yg ku olah dalam
kalimat-kalimat mungkin sementara bisa manjadi ramuan manis yang semu untuk
mengenyangkan batin, namun realita tak mampu ku ubah, menghilangkan semua
ketakutan, rasa sepi yang kian menghujam, hanya dengan menekan tombol delete
pada keyboard.
Ratusan malam ku lalui
hanya ditemani dangan laptop hasil ku menendang-nendang pintu rumahku dulu
sambil menangis bagai orang kesurupan, dan di kamar sempit yang penuh dengan
ide-ide gila yang tak kunjung terealisasi
Namun malam ini, diiringi
hembusan angin dingin, tak ada lagi malam yang di penuhi bintang-bintang, tak
ada cahaya sedikitpun di angkasa hanya hitam pekat. Sepekat rasa putus asaku
malam ini, aku menatap layar laptopku.
“bangsat!, aku menghela
nafas panjang”
“semuanya sudah
kupertaruhkan ini sisa pengorbanan terakhir, mungkin memang benar, seni akan
hidup jika senimannya telah mati, maafkan aku pak. Semua petuah bijakmu harus
berhenti di sini”
Menelan sisa harapan. Asa
menuliskan pesan terakhir di blognya, penuh dengan rasa perih dan salam
perpisahan.
Ya benar, keesokan hari
nya angkasa pemuda berusia 27 tahun itu di temukan tidak bernyawa dengan posisi
leher yang terikat, manggantung di dalam kamarnya dengan laptop yang masih
menyala menampilkan halaman blog nya, disana tertulis
“Ya tuhan, jika tempatku
di neraka, maka izinkanlah aku masuk kedalam sana, sambil memeluk semua tulisan
omong kosongku!”
Comments
Post a Comment