Serotonin.
BAB I
“Meneguk malam dari botol kaca” sebuah metafora
sederhana, untuk me-nyederhanakan masalah yang rumit setidak nya untuk malam
ini, disini.
Di tengah pangkuan malam, aku duduk di bawah rembulan utuh,
Sinarnya, terangi setiap relung kosong yang telah kau tinggalkan.
Desing kereta semakin memperdalam rasa sepi yang
menggerogoti jiwa. Persis! Pada saat itu, saat dimana pekik-an rasa sakit
menjalar di kerongkongan, tapi apalah daya pita suara tak mampu
mengumandangkannya.
BAB II
Hey cantik
Coba kau catat keretaku tiba pukul empat sore
Tak usah kau tanya aku ceritakan nanti
Hey cantik
Ke mana saja tak ada berita sedikit cerita
Tak kubaca lagi pesan di ujung malam
Dan Jakarta muram kehilanganmu
Terang lampu kota tak lagi sama
Lagu yang pas sebagai teman perjalanan yang hangat, di
tambah dengan pemandangan langit sore yang menelanjangkan senja-nya di atas
hamparan padi-padi hijau, yang saat ini kulewati dengan 8 gerbong baja, yang di
tarik 1 lokomotif pada jalurnya.
1 tahun, 3 bulan, semenjak aku berpamitan dengan mu,
mengembangkan karir yang tak seberapa, yang katanya cukup untuk kita berdua, untuk
melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih baik
7 tahun sudah aku mengenalmu, merencanakan banyak hal, kita
mempunyai segudang impian
Setiap hari ada saja cerita yang terlontar, mungkin kalo
dikumpulin udah jadi novel
Kau tau, bab yang paling kusuka, adalah dimana kau
menjadikan ku sebagai Pemberani, yang tak gentar menghadapi dunia, bahkan siap
untuk menaklukan dunia
Keluh kesah ku jadi milikmu, kesedihanmu jadi milikku, Tetapi
diam diam kita memendam rasa sakit, menganga dan terus
membesar
Saling mengobati lagi, lagi, dan lagi sampai lupa
mengkonsumsi obat, harus dengan dosis yang tepat.
BAB III
Kereta berhenti, namun senyuman ku belum usai, simpul
kerinduan yang terpatri di pipi.
Bergegas aku mencarimu, menyibak lautan manusia
hingga saat itu aku melihat visual dirimu, namun.
Mas??
Itu Siapa??
Aku bisa jelaskan..
Ah persetan, kau menciumnya!.
Maaf mas, bapak gak mau nunggu lama.
Tangan mu yang lembut, menenangkan, dan menyerap kelembapan,
bagai bulu angsa hungaria
Mencoba meraih tanganku, memutar telapaknya, memperlihatkan
janji suci yang melingkar di jari manis.
“Dan pada akhir cerita kita tak akan pernah menuju Rumah
yang sama”
Comments
Post a Comment