IBU, AKU, DAN ZARATHUSTRA
Matahari mulai mengantuk, dari Toa Surau seberang jalan, Lantunan
murotal Ayat Suci menggema di langit jingga, namun pemuda itu masih asik saja
menyuburkan kata demi kata di atas kertas, dengan sebatang rokok kretek dan secangkir
kopi tanpa gula, seorang pemimpi yang ingin menyajikan kalimat-kalimat ajaib,
sehingga menjadikannya “Übermensch” dalam skena literasi kepenulisan.
“HAIL SASTRA!” teriaknya.
“Eh.., Ngapain?, Mandi, Sholat, bentar lagi adzan” bagai nada
lembut yang membelai, Kryptonite yang meredam teriakannya, wanita paruh baya
yang rambutnya mulai memutih, tanpa pemuda itu sadari, ia dari tadi sudah
berdiri dibelakangnya, mengamati, mengenakan daster kesayangannya, namun dalam
kacamata pemuda itu, wanita itu masih sama cantik seperti dulu.
“Bentar bu, kalimat terakhir” sambil menoleh sejenak ke arah
wanita itu.
“Buat apa?”
“Sajak untuk ibu, Nah coba baca” wanita itu pun
duduk di sebelah pemuda itu, mengambil selembar kertas yang di serahkan
kepadanya, dan mulai membaca.
tulis aksara, tak terbangun nyata,
Dalam sajak, aku mencari jejak.
Kertas-kertas berisi harapan dan mimpi,
Di lorong sunyi, aku menyendiri,
tak ada suara yang menyapa
Dari ribuan kalimat, tak satupun menggema,
Hanya bayang-bayang semu, oasis fatamorgana.
Aku berjuang dalam gelap, mencari cahaya,
Kumpulan kata, hanya menjadi debu,
Setiap halaman, tumpukan bait penuh rasa hampa,
dunia tak melihat, apa yang kuasa?
Ibu, bukan kecewa yang ingin ku bawa,
Tapi pelajaran dari tiap pertanyaan,
Dalam integral makna, adakah keindahan?
Meskipun tak terbalas, tetap kuukir morfem kenangan.
meski jalan sunyi,
Karena dalam hati, adakah api yang tak padam?
Mungkinkah suatu saat, suara ini akan bergema?
Untuk Do’amu, dalam setiap detak langkah.
Dalam sajak, aku mencari jejak.
Di lorong sunyi, aku menyendiri,
tak ada suara yang menyapa
Dari ribuan kalimat, tak satupun menggema,
Hanya bayang-bayang semu, oasis fatamorgana.
Kumpulan kata, hanya menjadi debu,
Setiap halaman, tumpukan bait penuh rasa hampa,
dunia tak melihat, apa yang kuasa?
Tapi pelajaran dari tiap pertanyaan,
Dalam integral makna, adakah keindahan?
Meskipun tak terbalas, tetap kuukir morfem kenangan.
Karena dalam hati, adakah api yang tak padam?
Mungkinkah suatu saat, suara ini akan bergema?
Untuk Do’amu, dalam setiap detak langkah.
“Judulnya apa?” tanya wanita itu.
“tanpa judul”
“kok bisa tanpa judul?, judul itu ibarat tujuan dan do’a,
kalo gk ada keduanya kita gk tau bakal kemana”
“kalau memang gitu tapi kadang, gak kadang juga sih, malah
kebanyakan semua berjalan gk sesuai sama tujuan bu, makanya males ngasih judul”
“kita bukan superman nak, yg bisa melakukan semuanya, kita
semua punya porsi masing-masing, dengan adanya tujuan kita punya batas, dan
dengan do’a kita punya kekuatan serta kemudahan menggapainya”
“ya, tapi, kalo enggak pernah sampai ke tujuan bu? Percuma
dong punya tujuan kalo enggak sampai?”
“bukannya gak pernah sampai, belum sampai, kita kan gk tau
kedepannya gimana?
“iya juga sih,,…ibu aja deh yg ngasih judul”
“masa ibu yang ngasih judul, kan kamu yang nulis? Yang punya
jalan kan kamu
masa ibu yang ngasih tujuan? kan aneh?”
Pemuda itu terdiam, hanya menggangukan kepala tanda setuju.
“yaudah sana mandi terus sholat, tetapkan tujuan jangan lupa
berdo’a, biar di permudah jalannya”
“Siap IBUNDA!” sembari pemuda itu beranjak berdiri dari
duduknya.
“O iya bu, perihal judul, judulnya IBU, AKU DAN, ZARATHUSTRA”
“oh.., yang di buku kamu, yang orang Nazi kumisan itu ya?”
“ITU ORANG JERMAN BU!, HITLER BELUM LAHIR!”
Ucap Pemuda itu, bersamaan dengan jalannya menuju ke kamar mandi, handuk menggantung di leher.
Ucap Pemuda itu, bersamaan dengan jalannya menuju ke kamar mandi, handuk menggantung di leher.
Comments
Post a Comment